Selamat Membaca

Semoga segala informasi yang ada di blog ini bermanfaat :)
"Ketika aku BERBAGI maka akau "ADA".
( Nur Faizin Angkatan 2010 )

Jumat, 12 Desember 2014

Indonesia Youth Educate & Social (I-YES) Region Pekanbaru Angkatan III (Tiga)


Yang di tunggu-tunggu !!! Laporan Hasil Tim Seleksi I-YES Region Pekanbaru. 
 Terima Kasih kepada tim seleksi Kalian Luar Biasa (Founder Harry Novar, Aldi Putra , Milla Hayati , BeLa Yunita, Harnila Pekanbaru & Mustikawati Wasito ) dan Selamat untuk teman-teman yang lolos, silahkan buka emailnya. Yang ngak lolos, jangan berkecil hati. tetap bisa join dengan I-YES sebagai Volunteer. Untuk yang lolos, sampai Jumpa besok di Pelantikan dan Pembekalan nya.
Sekali lagi selamat bergabung..
Mari berkontribusi untuk negeri yang lebih baik..

Rabu, 10 Desember 2014

Semangat Pagi !!!!!!!


Pagi ini saya memulai hari dengan bepergian pagi buta untuk mengantar calon pahlawan tanpa tanda  jasa, Guru itu lah biasa kita memanggilnya. Disepanjang jalan saya mengendarai sepeda motor sambil berfikir betapa luarbiasanya Guru-Guru yang berangkat kesekolah, menunaikan kewajiban untuk mencerdaskan calon generasi muda penerus bangsa. tanpa mengeluh mereka melakukan yang terbaik apa yang bisa mereka lakukan untuk tanah air ini.
Saya pun tergugah untuk selalu bersyukur apa yang saya punyai dan akan mengembangkan apa yang saya bisa.
dan ku awali hari ini dengan SEMANGAT PAGI !!

Mari berdoa bersama untuk memudahkan hari ini..

“Ya Allah! Jadikanlah permulaan hari ini kebaikan & pertengahannya keberuntungan serta akhirnya kesuksesan. Aku mohon kpdMu kebaikan dunia & akhirat,
Wahai Yg Maha Pengasih lg Maha Penyayang.”

Amiiiin..

 
Editor by : Nur Faizin (Rimbawan Unri) 

 

SEJARAH KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DI DUNIA



 
Keinginan dan tindakan manusia dalam melindungi lingkungannya yang berharga barangkali telah dilakukan semenjak ribuan tahun yang silam. Akan tetapi salah satu yang tercatat jelas dalam sejarah ialah apa yang dilakukan oleh Ashoka, salah seorang raja yang paling terkenal dari Dinasti Maurya, India. Pada tahun 252 s.M. ia mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan.
Di zaman modern, penetapan Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat pada tahun 1872 merupakan salah satu tonggak penting konservasi alam masa kini. Di Indonesia sendiri, pada tahun 1889 telah ditetapkan Cagar Alam Cibodas oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika itu[5], dengan tujuan untuk melindungi salah satu hutan pegunungan yang paling cantik di Jawa.
Komitmen internasional untuk membangun suatu jaringan kawasan yang dilindungi di dunia berawal dari tahun 1972, yakni ketika Deklarasi Stockholm memandatkan perlindungan dan pelestarian wakil-wakil semua tipe ekosistem utama yang ada, sebagai bagian fundamental dari program konservasi di masing-masing negara. Sejak saat itulah, upaya perlindungan dari perwakilan ekosistem perlahan-lahan tumbuh menjadi prinsip dasar konservasi alam dan biologi konservasi; dikukuhkan oleh resolusi-resolusi PBB untuk lingkungan seperti Piagam Dunia untuk Kelestarian Alam (1982), Deklarasi Rio (1992), serta Deklarasi Johannesburg (2002).
Suatu set dari berbagai tipe kawasan yang dilindungi, luasan serta persebarannya di suatu negara biasa disebut sebagai sistem kawasan yang dilindungi. Sayangnya, sistem kawasan ini umumnya masih terpaku pada kawasan konservasi daratan, dengan sedikit sentuhan pada kawasan konservasi laut dan lahan basah.
Menurut definisi IUCN, kawasan yang dilindungi adalah:
Suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait.
Selanjutnya IUCN membedakan aneka macam kawasan yang dilindungi ke dalam enam kategori, yakni[6]:Ia - Strict Nature Reserve
Yakni suatu wilayah daratan atau lautan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau fisiologis, dan atau spesies, tertentu, yang penting bagi ilmu pengetahuan atau pemantauan lingkungan.
Ib - Wilderness Area                                                                                                
Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang masih memiliki atau mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya, tanpa adanya hunian yang permanen atau signifikan; dilindungi dan dikelola untuk mempertahankan kondisi alaminya.
II - National Park
Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i) melindungi integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii) menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus selaras secara lingkungan dan budaya.
III - Natural Monument
Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam atau budaya yang merupakan nilai yang unik atau luar biasa; yang disebabkan oleh sifat kelangkaan, keperwakilan, atau kualitas estetika atau nilai penting budaya yang dipunyainya.
IV - Habitat/Species Management Area
Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk memelihara fungsi-fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies tertentu.
V - Protected Landscape/Seascape
Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana interaksi masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik yang tradisional ini bersifat vital bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud.

Editor by : Nur Faizin (Rimbawan Unri).
 
Daftar Pustaka : Dari berbagai sumber.

Sejarah Konservasi Sumber Daya Alam di Indonesia



    Sejarah konservasi Sumber Daya Alam Indonesia secara sederhana dibagi menjadi tiga periode, yaitu :  zaman kerajaan nusantara, zaman colonial, dan zaman kemerdekaan.
Pada zaman kerajaan nusantara, sebelum abad ke-15, tradisi sakral sangat mewarnai segenap kehidupan masyarakat.  Kehidupan masyarakat waktu itu sangat kental dengan kepercayaan mistis dan kekuatan alam, yang terwujud dalam penabuhan benda-benda, pendirian situs-situs, dan tindakan tertentu.  Misalnya, terdapat larangan dalam masyarakat untuk tidak mengambil jenis-jenis pohon atau batu-batu tertentu, larangan memasuki kawasan tertentu, seperti gunung, rawa, ataupun hutan yang dianggap keramat.
Pada waktu itu hubungan antara manusia dengan alam lebih didasarkan atas dasar membangun hubungan harmonis dengan alam.  Alam dianggap sebagai sesuatu yang suci (sacred), yang dapat memberikan berkah bagi kehidupan.  Para raja menjalankan ritual-ritual berupa penghormatan kepada penguasa alam yang diyakininya dengan mendirikan tempat pemujaan dewa-dewa dan roh-roh leluhur.
Di zaman kolonial Belanda, praktek pelestarian alam tidak dapat terlepas dari dua peristiwa kecil.  Pada 1714, Chastelein mewariskan dua bidang tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat).  Chastelein mengharapkan agar kawasan tersebut bisa dipertahankan, tidak dipergunakan sebagai arela pertanian.  Selanjutnya, pada 1889 berdasarkan usulan Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya) Bogor, kawasan hutan alam Cibodas ditetapkan sebagai tempat penelitian flora pegunungan, yang kemudian diperluas hingga pegunungan Gede dan Pangrango pada 1925.
Wacana konservasi kembali muncul pada akhir abad 19, tepatnya pada 1896, dimana saat itu pemerintah colonial belanda mendapat tekanan dari luar Hindia Belanda tentang penyelundupan burung cendrawasih secara liar.
Pada saat itu, seorang entomology amatir M.C. Piepers yang juga mantan pegawai Departemen hukum Hindia Belanda mengusulkan agar tindakan perlindungan burung cendrawasih serta beberapa flora dan fauna lainnya yang terancam punah.  Ia menyarankan agar dibuat suatu taman nasional seperti Yellowstone National Park yang secara resmi melindungi spesies-spesies terancam punah.
Tekanan untuk kejadian burung-burung cendrawasih tersebut kemudian melahirkan undang-undang Perlindungan Mammalia liar dan Burung Liar yang dikeluarkan pada 1910.  Undang-undang tersebut berlaku di seluruh Indonesia.
Pada 1912 pernah didirikan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming (perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S.H. Koorders dkk.  Kemudian, pada 1913 perhimpunan ini berhasil menunjuk 12 kawasan yang perlu dilindungi di Pulau Jawa.  Setelah dilanjutkan dengan penunjukan kawasan lindung di pulau jawa hingga Sumatera dan Kalimantan.
Tonggak sejarah baru dimulai pada 1932, dengan diundangkannya Natuur Monumenten Ordonatie atau Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.  Ordonasi ini kemudian diterbitkan oleh Peraturan Perlindungan Alam.  Pada tahun tersebut mulai dimungkinkan adanya kegiatan di kawasan konservasi dengan izin, misalnya berburu di taman alam.
Selama pendudukan Jepang (1942 – 1945) secara umum kondisi perlindungan alam di Indonesia kurang diperhatikan.  Sebelumnya, dalam sejarah pengelolaan jati di Jawa oleh Belanda, pada 1929 telah berhasil menata 31 unit wilayah pengelolaan hutan seluas 627.700 ha.  Namun pada saat pendudukan Jepang, telah terjadi eksploitasi besar-bearan dan merugikan.  Tercatat pada tahun 1944, kayu jati telah ditebang mencapai 120.000 – 150.000 m3 untuk membuat kapal.  Kayu-kayu dari hutan juga banyak dibakar untuk guna mendukung pabrik-pabrik yang menggerakan kereta api.  Pada masa tersebut, Jepang banyak menguras hutan jati di Jawa untuk keperluan perang Asia Timur Raya.
Setelah kemerdekaan, pada 1947 upaya perlindungan alam dimulai kembali, yakni dengan penunjukan Bali Barat sebagai suaka alam baru atas prakarsa dari Raja-raja Bali Sendiri. Setelah itu, pada 1950 Jawatan Kehutanan RI mulai menempatkan seorang pegawai yang khusus diserahi tugas untuk menyusun kembali urusan-urusan perlindungan alam.
Pada tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan senior Indonesia menulis artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam majalah kehutanan Tectona.
Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan NGO.
Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources) ke-7 di New Delhi, India pada tanggal 25-28 November 1969, Indonesia mengirimkan beberapa utusan, diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng. Pada konferensi tersebut wakil dari Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul “Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya” dan “Pendidikan Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan positif dari peserta konferensi, sehingga perhatian dunia luar terhadap kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat.
Pada tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang melahirkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi perkembangan pengelolaan hutan suaka alam dan taman nasional di Indonesia. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar dilindungi. Pada tahun 1985, keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang dilindungi.
             Kemajuan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu sidang umum PBB tanggal 15 Maret 1979. Pada tahun 1983 dibentuk Departemen Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di fakultas-fakultas kehutanan dan biologi sudah mulai diajarkan ilmu konservasi alam dan pengelolaan satwa liar. Bahkan di beberapa fakultas kehutanan sudah dikembangkan jurusan Konservasi Sumber Daya Alam.
        Dari segi undang-undang dan peraturan tentang perlindungan alam juga banyak mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan peninggalan pemerintah Hindia Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dan pada tahun 1990-an mulai banyak berdiri LSM di Indonesia yang menangani tentang konservasi alam.

Editor by : Nur Faizin (Rimbawan Unri) 


Daftar Pustaka : Dari berbagai sumber.
 






CAGAR ALAM BUKIT BUNGKUK



       

            Ditunjuk melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. Menhut No. 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986. Luas kawasan 20.000 Ha, terletak di 0˚ 10’ LU – 0˚ 15’ LU dan 101˚ 50’ - 101˚ 55’ BT yang secara Administrasi Pemerintahan terletak di Kec. XIII Koto Kampar,  Kec. Bangkinang Barat Kabupaten Kampar. Potensi yang dimiliki berupa :
Flora : Meranti, Kempas, Bintagur, Balam, Keruing, Kulim, Durian Hutan, Suntai, Rengas
Fauna : Beruang Madu, Rusa, Harimau Sumatra, Kancil, Kera Ekor Panjang,Ayam Hutan, Biawak, Bubut Besar, Bunglon.
Sekilas tentang Cagar Alam Bukit Bungkuk:

CA Bukit Bungkuk seluas 20.000 ha terletak di Kabupaten kampar, Propinsi Riau. dengan status Hukum CA Bukit Bungkuk ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986. dengan kekayaan flora dan faunanya :
1. flora : antara lain meranti (Shorea sp), bintangur (Calophyllum spp), kempas (Koompassia malaccensis maing), keruing (Dipterocarpus sp), balam (Palaquium gulta), durian hutan (Durio sp), kulim (Scorodocarpus boonensis), suntai (Palagium walsunrifolium), dan rengas (Gluta renghas). dan masih banyak yang lain

2. Fauna : beruang madu (Helarctos malayanus), harimau loreng sumatera (Panthera tigris sumatrensis), rusa (Cervus timorensis), kancil (Tragulus javanicus) antara lain kera ekor panjang (Macaca fascicularis) antara lain ayam hutan (Gallus gallus), bubut besar (Centropus cinensis) antara lain biawak (Varanus salvator), bunglon (Colates spp), Siamang (Shimphalangus Sindactilus), Ungko (Hylobates Agilis), Beruk(Macaca nemestrina),Kucing Hutan (Felis bengalensis)beberapa jenis kupu-kupu, ngengat dan beberapa jenis Katak
Selain Flora dan Fauna, kawasan CA. Bukit Bungkuk menawarkan pesona yang sangat menarik, anak-anak sungai yang menjadi sumber air bagi masayarakat dihilirnya menyajikan panorama yang memukau dan indah.
Kawasan ini membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah daerah dan peranserta masyarakat disekitar kawasan agar kawasan Cagar Alam Bukit Bungkuk tetap lestari dan terjaga dengan baik, karena fungsi dari Cagar Alam ini sangat vital untuk pembangkit listrik Tenaga Air yang airnya berasal dari kawasan cagar alam Bukit Bungkuk, Selain itu sungai-sungai yang mengalir kepemukiman masyarakat juga berfungsi sebagai sumber air bersih dan sumber aliran buat kolam-kolam masyarakat dihilirnya.

Hutan adalah berkah Allah Buat manusia, kita wajib untuk menjaga dan melestarikannya demi kestabilan bumi. Tiada bisa menggenggam alam ini ditanggan kita karena kita tidak akan mampu, karena kita manusia berada dalam daur alam itu sendiri. Lestari Alam berada ditangan kita manusia, hancurnya alam juga berada ditangan manusia. tinggal kita hendak memilih hidup berdampingan dengan alam dan hidup nyaman dengan menghirup udara segar dan sejuk atau kita malah menjadi musuh alam, itu tergantung kepada kita manusia pilihan mana yang hendak kita pilih.

Editor by : Nur Faizin (Rimbawan Unri) 

Daftar pustaka
http://bbksdariau.com/kawasan/cagar-alam-bukit-bungkuk.
http://belangsumatra.wordpress.com/tag/cagar-alam-bukit-bungkuk/